Sabtu, 11 Oktober 2008

Menentukan Hari Raya dan Mengapa Mesti Berbeda

Assalammualikum Wr Wb

Tanggapan terhadap tulisan-tulisan mengenai mengapa penentuan hari raya musti berbeda. Kalau udah terlambat saya mohon maaf, soalnya kalau tidak saya komentari, rasanya ada beban moral yang harus saya tanggung seumur hidup.

Begini, didalam Islam sumber hokum Islam ada 4 hal yakni: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Kalau Al Quran dan Sunnah tentunya jelas, sedangkan Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dan Qiyas adalah perumpamaan. Didalam Islam juga ada istilah Qoti’ (pasti) dan Dhonni (boleh). Untuk masaha Aqidah para ulama sepakat bahwa semua yang mengaku Islam harus tidak boleh berbeda masalah aqidah, misalnya masalah Tuhan (Allah SWT), Rasulullah (Muhammad SAW), Al Quran, dll. Jadi di dalam agama Islam banyak ayat yang hanya bermakna satu, tidak ada makna lain kecuali hal tersebut. Jadi kalau ada orang islam yang mengutak-atik masalah yang Qoti’ maka dia telah keluar dari Islam. Saya ambil contoh seperti Ahmadiyah, kenapa MUI sepakat bahwa Ahmadiyah bukan Islam atau sudah keluar dari Islam, karena Ahmadiyah mengklaim akan ada nabi baru setelah Muhammad, hal itulah yang membuat Ahmadiyah keluar dari Islam.
Dhonni: Banyak ayat Al Quran dan Hadits yang bisa dimaknai atau diterjemahkan atau ditafsirkan lebih dari satu makna. Sehingga perbedaan pendapat dikalangan para ulama sudah terjadi sejak lama, bukan hanya pada saat ini. Walaupun mereka berbeda tetapi mereka sepakat bahwa untuk masalah Aqidah tidak boleh ada yang berbeda, sedangkan untuk masalah fiqih boleh berbeda. Coba kita pikirkan secara sederhana saja, Rasulullah memiliki banyak sahabat, ada sahabat yang melihat Rasulullah dari depan, belakang dan samping, sehingga hal tersebut membuat penafsiran yang berbeda. Perbedaan diantara para Imam seperti Imam Maliki, Hambali, Syafi’I, dll, tentu mutlak adanya, tetapi perbedaan mereka hanya pada masalah fiqih bukan masalah aqidah. Jadi semua Imam tersebut adalah benar dan silahkan kita memilih salah satunya.

Sekarang kita bahas masalah perbedaan menentukan hari Idhul Adha dan Idul Fitri.
Untuk menentukan jatuhnya hari tersebut ada 2 cara yakni dengan cara Ru’yatul hilal(melihat hilal) dan Qisab (menghitung). Kedua cara tersebut adalah benar silahkan kita memilih yang mana, tetapi sebelum kita memilih hendaknya juga berdasarkan hujjah (dalil) yang tepat. Kedua cara tersebut digunakan untuk menentukan jatuhnya hari Idul Fitri dan tidak ada hubungannya dengan Negara lain atau Negara kafir atau apalainnya. Tetapi juga ada sebuah hadits yang artinya kurang lebih begini “ Jika bulan telah nampak di bumi Allah maka berpuasalah”. Dari Hadits ini maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jika bulan telah nampak di bumi walupun itu di Amerika, Jepang, Irak, Arab, Australia, Jerman dll maka sudah jatuhlah tanggal 1 Ramadhan. Karena dimanapun Bulan terlihat tetap itu adalah bumi Allah, bukan bumi tuhan yang lain.

Sedangkan untuk masalah penentuan Idhul Adha seluruh umat Islam yang ada dibelahan dunia manapun tidak berhak melakukan Ru’yat dan qisab karena penentuan Idhul Adha berhubungan dengan Ibadah haji sehingga yang berhak menentukan Idhul Adha adalah amir (pemimpin/penguasa) di Mekah. Dulu Islam bersatu dalam satu kepemimpinan dalam satu Negara yang disebut Khilafah yang dipimpin oleh Khalifah. Setelah sepeninggal Rasulullah SAW maka jabatan kepala Negara dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), setelah itu kekhalifahan dipegang oleh bani Umayah, kemudian Bani Abbasiyah, kemudian Ustmani di Turki. Islam pernah memimpin dunia selama 14 abad dan berakhir pada tgl 3 maret 1924 di Turki. Jadi saya mohon jangan mengatakan bahwa arab adalah Negara lain tetapi katakanlah bahwa mereka adalah saudara kita yang tersekat oleh system kuffur yang disebut nation state. Pada zaman dahulu di Indonesia/nusantara selalu dipimpin oleh para Sultan (bukan khalifah) yang tunduk dan patuh terhadap khalifah di Turki. Banyak bukti2 sejarah yang menyatakan tentang itu. Kembali lagi ke masalah Idul Adha, saya mau jawab pertanyan tentang kenapa mereka pelit hanya mengikuti bulan di Saudi dan tidak matahari sekalian? Jawabnya adalah karena sholat wajib ditentukan waktunya oleh matahari, sedangkan untuk masalah penentuan awal bulan (month) didalam Islam ditentukan oleh bulan (moon) bukan matahari. Sehingga masalah jatuhnya hari mengikuti bulan (moon) bukan matahari. Rasulullah selama sisa hidupnya beliau tinggal di Madinah bukan di Mekkah, sepanjang itulah Rasulullah selalu menantikan kabar dari Mekkah bukan beliau menentukan sendiri kapan jatuhnya hari Idul Adha. Dari situlah kenapa sebagian saudara kita memilih Idhul Adha jatuh bersama dengan Mekkah, dan tidak menentukan sendiri berdasarkan wilayah yang dia tempati. Dan ingat bahwa saat ini kita tersekat oleh Negara bangsa yang memang diciptakan oleh kaum kaffir penjajah, sehingga tiap Negara memiliki kepentingan masing-masing karena tidak ada satu negeripun didunia ini yang saat ini benar2 adalah Negara Islam. Pernah suatu kali puasa jatuh pada hari selasa, kemudian saya chatting dengan teman yang di Bangladhes dan dia bilang puasa jatuh pada hari kamis. Begitulah jika Negara menghalang2i suatu informasi.

Sampai pada kesimpulan bahwa sesame muslim harus saling Ru’yun Islami (perpikiran atau berpandangan islam) bahwa mungkin saja dia benar karena dia juga menggunakan dalil (Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) tetapi yang saat ini saya lakukan adalah yang saya yakini paling benar karena saya juga menggunakan dalil, sedangkan yang salah adalah yang tidak menggunakan dalil. Tidak pantas seorang muslim menjelek2kan saudaranya sendiri tanpa berfikir secara Ru’yun Islami.

Waallahu ‘alam biswab

Wassalammualikum Wr Wb

Arif Widodo

Lampiran Hadist

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar).

Sanad Hadis
Imam Ahmad menerimanya dari Sulaiman bin Dawud ath-Thuyalisi dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi dari Habib bin Salim dari an-Nu‘man bin Basyir. Ia berkata:

Kami sedang duduk di masjid bersama Rasulullah saw. Basyir adalah orang yang hati-hati dalm berbicara. Lalu datang Abu Tsa‘labah al-Khusyani. Ia berkata, “Wahai Basyir bin Saad, apakah engkau hapal hadis Rasulullah saw. tentang para pemimpin?”
Hudzaifah berkata, “Aku hapal khutbah beliau.”
Lalu Abu Tsa‘labah duduk dan Hudzaifah berkata, “Rasululah saw. bersabda: (sesuai dengan matan hadis di atas).” 1

Al-Bazzar2 menerimanya dari al-Walid bin Amru bin Sikin dari Ya‘qub bin Ishaq al-Hadhrami dari Ibrahim bin Dawud dari Habib bin Salim dari an-Nu‘man bin Basyir. Ia bercerita bahwa ia sedang di masjid bersama bapaknya, Basyir bin Saad. Lalu datang Abu Tsa‘labah al-Khusyani. Kemudian terjadilah dialog seperti di atas.
Al-Haytsami berkomentar,3"Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Tarjamah an-Nu‘mân, juga al-Bazzar secara persis, ath-Thabrani secara sebagiannya di dalam al-Awsath, dan para perawinya tsiqah. Ibn Rajab al-Hanbali juga menukil riwayat Ahmad ini.4

Makna dan Faedah
Hadis ini memberitahukan lima periode perjalanan kaum Muslim sejak masa kenabian. Periode pertama adalah periode kenabian.
Periode kedua adalah periode Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Para ulama sepakat bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah periode Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian. Menurut sebagian ulama, periode ini adalah periode Khulafar Rasyidin sampai periode Khilafah al-Hasan bin Ali. Khilafah Umar bin Abdul Aziz oleh sebagian ulama juga dikategorikan Khilafah Rasyidah sehingga beliau juga dijuluki Khulafaur Rasyidin.
Periode ketiga adalah periode pemerintahan dan kekuasaan yang zalim. Lafal mulk bisa berarti kerajaan, bisa juga al-hukm wa as-sulthân (pemerintahan dan kekuasaan). Lafal mulk dalam hadis ini kurang tepat jika dimaknai kerajaan sebagai sebuah bentuk pemerintahan. Sebab, setelah Khulafaur Rasyidin, bentuk pemerintahan kaum Muslim tidak berubah menjadi kerajaan, tetapi tetap Khilafah. Kepala negara tetap seorang khalifah dan tidak pernah berubah menjadi raja. Ini adalah fakta yang telah disepakati para ulama. As-Suyuthi dalam Tarîkh al-Khulafâ’ berkata, “Aku hanya menyebutkan khalifah yang telah disepakati keabsahan imâmah-nya dan keabsahan akad baiatnya.”5
Secara faktual, Khilafah terus berlanjut sampai diruntuhkan oleh penjajah Barat tahun 1924 M. Namun, juga disepakati, selama rentang waktu tersebut terjadi penyimpangan dan keburukan penerapan Islam di sana-sini. Jadi, periode tersebut adalah periode pemerintahan dan kekuasaan yang di dalamnya terjadi kazaliman, yaitu peyimpangan dan keburukan penerapan sistem dalam beberapa hal.
Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan dan kekuasaan jabbariyah (diktator). Dalam riwayat Abu Tsa‘labah al-Khusyani dari Muadz bin Jabal dan Abu Ubaidah, periode ini digambarkan sebagai periode pemerintahan dan kekuasaan yang sewenang-wenang, durhaka, diktator, dan melampaui batas.6Gambaran demikian adalah gambaran pemerintahan dan kekuasaan yang bukan Islam. Periode pasca runtuhnya Khilafah saat ini tampaknya sesuai dengan gambaran tersebut.
Periode terakhir adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ini merupakan basyârah (berita gembira) akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Jika riwayat ini digabung dengan riwayat lain yang semakna, yaitu riwayat akan masuknya Islam di setiap rumah, hadis al-waraq al-mu’allaq, hadis Khilafah turun di bumi al-Quds, hadis mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin berpusat di Syam, hadis ‘adl wa al-jur, hadis hijrah setelah hijrah, hadis al-ghuraba’, hadis al-mahdi, dan hadis akan ditaklukkannya Roma, maka makna tersebut bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir.7
Basyârah ini selayaknya memacu semangat kita untuk terus berjuang demi tegaknya Khilafah, karena kita ingin mendapat kemuliaan, yakni turut menjadi aktor bagi terlaksananya janji Allah tersebut. Allâhummarzuqnâ dawlah Khilâfah Râsyidah.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.

Catatan Kaki
1 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, IV/273, Muassasah Qurthubah, Mesir. t.t.
2 Al-Bazar, Musnad al-Bazar 4-9, VII/223, ed. Mahfuzh ar-Rahman Zainullah, Muassasah ‘Ulum al-Quran-Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, Beirut-Madinah, cet. I. 1409.
3 Al-Haytsami, Majma’ az-Zawâ’id, v/188-189, Dar ar-Rayan li Turats-Dar al-Kitab al-‘Arabi, Kaero-Beirut. 1407.
4 Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-ulûm wa al-Hukm, I/264, Dar al-Ma’rifah, Beirut. cet I, 1408.
5 As-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, hlm. 8, Dar al-Fikr, Beirut. t.t.
6 Al-Haytsami, op. cit.
7 Lihat: Muhammad asy-Syuwaiki, ath-Tharîq ilâ Dawlah al-Khilâfah, Bait al-Maqdis, 1411; Hafizh Abdurrahman, Khilafah Islam dalam Hadist Mutawatir bi al-Ma’na, al-Azhar Press, Bogor. Cet. I. 2003-1424.




Tidak ada komentar: