Sabtu, 11 Oktober 2008

Kapitalisme, Bencana!

Agustus 2008 adalah ulang tahun pertama kebangkrutan kredit global, dimana dunia menyaksikan krisis pangan global, melejitnya harga minyak dan jatuhnya bank-bank raksasa secara spektakuler di seluruh dunia dan kemungkinan akan adanya resesi. Northern Rock di Inggris, Bear Sterns di Amerika (AS), meletusnya balon real-estate (pengembang perumahan) di AS dan di Eropa, semua berjatuhan secara spektakuler juga. Krisis keuangan menjadi keniscayaan yang rutin dan banyak kalangan di Barat menyatakan bahwa jatuhnya ekonomi pasar secara periodik adalah hal yang biasa dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Kapitalisme. Majalah “The Economist” dalam analisisnya terhadap krisis menggarisbawahi pandangan tersebut:” penumpukan kekayaan dan bencana adalah bagian dari sistem keuangan Barat. Dan bagaimanapun, sistem ini masih yang terlayak dari yang ada.”

Model-model rumit yang digunakan oleh para bank investasi besar sebenarnya memperkirakan bahwa bencana pasar keuangan mestinya terjadi hanya sekali dalam 10 ribu tahun. Mantan ketua Federal Reserve, Alan Greenspan berusaha menenangkan dunia dengan mengingatkan bahwa ini adalah sekedar kasus yang terjadi setiap satu abad, yang kemudian akan berlalu. Ironisnya, mereka mengatakan hal yang sama ketika pasar saham ambruk di tahun 1987, bangkrutnya perusahaan hedge-fund yang bernama Long Term Capital Management di tahun 1998, dan krisis kredit sub-prime pembelian rumah yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Yang terlihat sejak berkembangnya Kapitalisme adalah berulangnya siklus jatuh bangun, resesi, depresi, keambrukan, krisis, dan kebangkrutan, yang telah terjadi pada Dutch Tulips atau pada perusahaan dot.com, yang kesimpulannya adalah bahwa krisis terjadi secara rutin, dan tidak
sejarang yang mereka kira.

September 2008 malah lebih buruk lagi. Sejarahnya, bulan September dan Oktober adalah bulan-bulan dimana Pasar Saham ambruk dan dalam dua minggu pertama di bulan September perusahaan-perusahaan terbesar di dunia turut ambruk. Tanggal 7 September, perusahaan prekreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac , yang memberi garansi utang senilai 5,3 trilyun dolar, yang meliputi separuh lebih dari utang perkreditan rumah di AS, pun ambruk. Pemerintah AS akhirnya terpaksa menyelematkan dua perusahaan tersebut dengan menggelontorkan uang dari kas pajak warga negaranya sebesar 200 bilyun dolar. Dua perusahaan tersebut ambruk karena berani memberikan utang kepada orang-orang yang beresiko tinggi dalam masa-masa kejayaan ekonomi.

Namun, berita yang paling mengagetkan adalah kekhawatiran akan ancaman ambrolnya perusahaan-perusahaan Bank Investasi terbesar di pusat keuangan Wall Street di New York AS. Lehman Brothers, salah satu perusahaan investasi bank AS terbesar memasukkan permohonan status bangkrut pada tanggal 15 September 2008. Inilah akhir nasib suatu bank besar dan tertua yang berdiri di negara bagian Alabama tahun 1844 dan jatuh begitu saja– padahal di tahun 2007 Lehman masih melaporkan jumlah penjualan sebesar 57 bilyun dolar dan di bulan Maret lalu masih sempat dinyatakan oleh majalah Business Week sebagai salah satu dari 50 perusahaan papan atas di tahun 2008. Namun kini, Lehman bernilai tidak lebih dari cuma 2 bilyun dolar saja.

Perusahaan investasi lain seperti Merril Lynch, yang bertahun-tahun sempat menjadi raksasa Wall Street, pun mengemis untuk segera diambil alih oleh saingannya sendiri, yaitu Bank of America. Dan AIG, salah satu perusahaan asuransi terbesar juga memohon untuk disuntikkan dana darurat sebesar 40 bilyun dolar dari pemerintah AS untuk menghindari kebangkrutan total. Rentetan peristiwa ini dirangkum oleh majalah Wall Street Journal dengan kata-kata,” Sistem keuangan Amerika terguncang hingga ke pusarnya.”

‘Derivativasi sebagai akar permasalahan”

Derivativasi dalam bentuk modern– seperti obligasi kolateral dari hutang (collateralised debt obligations), obligasi hutang pembelian rumah (mortgage debt obligations), penukaran kredit jatuh tempo (credit default swaps)– semuanya merupakan sumber terjadinya kegagalan kredit. Filsafat pemikiran yang mendasari pertumbuhan derivativasi adalah asumsi teoritis bahwa resiko bisa dipindahkan ke lembaga lain yang mampu mengatasinya. Pada prakteknya, Warren Buffet menunjukkan beberapa tahun yang lalu bahwa derivativasi tidak lain adalah bentuk senjata keuangan penghancur massal. Semua lembaga yang akhirnya bangkrut termakan oleh asumsi tersebut dimana mereka berharap mengambil keuntungan dengan mentransfer resiko ke lembaga lainnya. Yang terjadi adalah mereka justru menumpuk sebatas kertas-kertas tidak bernilai yang memicu timbulnya kerugian yang sangat besar. Ini semua membuka kedok Kapitalisme yang mempromosikan praktik-praktik keuangan semacam ini.

(The Bubble Economy) Gelembung Ekonomi — Adakah manfaatnya?

Berbagai pakar dan analis mengurai berbagai alasan yang melahirkan krisis yang terjadi, misalnya peraturan yang longgar, tidak adanya transparansi, kinerja perusahaan yang menilai resiko dan juga sekuritas pinjaman sub-prime yang kompleks. Meskipun faktor-faktor tersebut memang memberikan kontribusi kepada krisis, penfokusan hanya pada faktor-faktor itu justru akan mengesampingkan isu yang jauh lebih besar dan tidak akan mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi sebelum krisis yang terakhir.

Krisis yang terakhir, sebagaimana krisis sebelumnya selama 200 tahun terakhir sebenarnya memiliki pola yang mirip, sebagaimana proses terjadinya suatu gelembung, yang membesar, dan kemudian meletus. Ironisnya, orang-orang yang berpartisipasi dalam pembentukan gelembung justru menyadari betapa tidak rasionalnya tindakan mereka setelah mengalami pecahnya gelembung. Ada empat tahap terjadinya gelembung ekonomi:

Pertama, pengembangan atau inovasi teknologi atau produk. Di masa lampau, contohnya adalah pengembangan dan inovasi produk seperti pembangunan jaringan kereta api, telekomunikasi, perkapalan, dan perusahaan internet dotkom, dan akhir-akhir ini adalah inovasi di industri keuangan.

Kedua, pemasaran produk dengan intensitas tinggi pada masyarakat dengan janji bahwa produk atau inovasi tertentu akan mengubah cara dan gaya hidup secara luarbiasa. Gelembung South Sea di tahun 1720 mencapai puncaknya ketika perusahaan South Sea berhasil meyakinkan publik Inggris bahwa monopoli perdagangan dengan Amerika Selatan akan menghasilkan kekayaan dan keuntungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Informasi seperti ini menghasilkan pada ‘demam perdagangan secara spekulatif’ berujung pada melejitnya harga saham South Sea.

Ketiga, terbentuknya pola perdagangan spekulatif , yang mulai mengenyampingkan akal sehat, mendorong akselerasi pembesaran gelembung. Semua orang dari berbagai latarbelakang ikut-ikutan terjun dalam perdagangan ini. Masyarakat dan para pakar yang masih kurang percaya pun dicekoki dengan jaminan bahwa pasar tidak akan jatuh, dan bahwa situasi yang ada berbeda dan tidak akan mengulang krisis sebelumnya. Jaminan seperti ini diikuti dengan adanya ‘inovasi’ keuangan seperti pengembangan produk sekuritas yang kompleks (obligasi hutang kolateral, dimana hutang seseorang dijual kepada pihak ketiga hingga berkali-kali guna mengurangi dan menyebarkan tingkat resiko). Praktik inovasi ini dianggap sebagai revolusi keuangan. Sekali lagi industri keuangan berusaha meyakinkan publik bahwa ’saat ini adalah saat yang berbeda, dasar pemikirannya jauh lebih solid’.

Keempat dan terakhir, timbulnya kesadaran bahwa inovasi baru yang ditawarkan secara gencar ternyata tidak sebaik yang diharapkan. Uang atau modal yang telah terinvestasi, dan ikut membantu pembesaran gelembung pada tahap sebelumnya, ternyata tidak berhasil menghasilkan keuntungan yang telah dibayangkan sebelumnya. Pada titik ini, gelembung pun pecah dan akibatnya dalam sejarah benar-benar melahirkan bencana. Ekses ekonomi telah melahirkan Depresi Besar di tahun 1920an, dan meletusnya gelembung dotkom ketika perusahaan dotkom mulai bangkrut ketika janji-janji mereka untuk menghasilkan keuntungan ternyata perlu waktu 50 tahun. Ambruknya perusahaan peminjaman hutang pembelian rumah secara sub-prime pada bulan April 2007 juga berawal dari informasi bahwa pasar penjualan rumah di AS memiliki fondasi yang kuat.

Mereka yang bertanggungjawab pada gelembung spekulatif di tahun 2007 sama sekali tidak membayangkan bahwa pada satu hari gelembung itu akan pecah. Disitulah kesombongan mulai timbul. Aktifitas yang menghasilkan keuntungan secara masif dan diikuti oleh bonus dengan yang besar menjadi motor pasar properti. Bahkan ketika mulai ada tanda-tanda keretakan, mereka menyalahkan semua orang kecuali mereka sendiri. Krisis yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan pasar keuangan hanyalah sebatas ilusi saja. Mood kesenangan bisa hilang dalam sekejap, kerugian yang berakhir dengan dipecatnya eksekutif perusahaan. 

Adalah sifat kapitalisme yang tidak pernah cukup, dan semuanya serba kurang, tidak ada pertumbuhan yang terlalu tinggi, tidak ada spekulasi yang sangat spekulatif, tidak ada gaji yang terlalu tinggi, tidak ada mobil yang terlalu banyak, tidak ada produksi minyak yang terlalu tinggi, semuanya serba kurang, dan harus digenjot semaksimal mungkin. Apa yang Kapitalisme telah ciptakan tidak lain adalah spekulasi,kerakusan, kesombongan dan berfoya-foya. Itulah sebabnya setiap gelembung selalu berakhir dengan letusan, dan akan terus terjadi secara berulang-ulang.

Sistem Khilafah

Sistem Islam memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda tentang ekonomi, sehingga jalur pengembangan ekonominya pun berbeda dibandingkan kapitalisme:

Sistem Ekonomi Islam menfokuskan pada manusia dan pemenuhan kebutuhannya, bukan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Nabi Muhammad saw bersabda,” Anak Adam tidak memiliki hak selain memiliki rumah untuk berteduh, pakaian untuk menutupi dirinya, dan sepotong roti dan seteguk air.” (Tirmidhi). Dasar pemikiran yang membentuk sistem ekonomi Islam melahirkan kebijakan dan peraturan yang diarahkan untuk mencapai fokus tersebut. Islam menaruh perhatian khusus untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagaimana yang diterangkan dalam hadith sebelumnya, ketimbang pada penambahan angka GDP saja. 

Dalam hal ini, Negara diwajibkan oleh Islam untuk memiliki peran langsung dalam pencapaian tujuan ekonomi, dan tidak begitu saja membiarkannya kepada sistem pasar bebas. Ibn Abbas menarasikan sebagaimana dilaporkan oleh Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad Saaw bersabda,” Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” Berdasarkan dari hadith Nabi tersebut, Negara menguasai kepemilikan dari sumber daya alam berbasis api seperti minyak, gas bumi, penyulingan, instalasi produksi listrik sebagaimana sumber air.

Dengan demikian, masyarakat tidak akan rawan untuk menjadi obyek eksploitasi perusahaan swasta yang meraup keuntungan dari instalasi strategis yang tersebut diatas. Negara juga akan mengontrol lembaga-lembaga yang mengatur atau mengurus instalasi tersebut sehingga mampu untuk segera bertindak ketika diperlukan dan sebelum terlambat.

Ekonomi Islam tidak mengenal dualisme ekonomi– yaitu ekonomi yang terdiri dari sektor keuangan, dimana aktifitasnya didominasi oleh praktik pertaruhan terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi riil.

Sektor keuangan ini terbentuk dari instrumen keuangan seperti saham, derivativasi, dan produk sekuritas, disamping adanya keterlibatan bunga (riba), praktik keuangan ini juga melakukan transaksi terhadap komoditi secara sepihak (tanpa adanya partner) dalam proses kepemilikannya.
Ekonomi Islam didasarkan pada ekonomi riil. Dengan demikian, semua aturan ekonomi Islam memastikan agar perputaran harta kekayaan tetap berputar. Larangan terhadap adanya bunga (riba) bisa dipraktikan dengan melakukan investasi modal di sektor ekonomi rill, karena penanaman modal di sektor lain dilarang. Kalaupun masih ada yang berusaha menaruh sejumlah modal sebagai tabungan atau simpanan di bank (yang tentunya juga tidak akan memberikan bunga), modal yang tersimpan tersebut justru akan menjadi subyek dari penarikan pajak setelah melewati periode satu tahun. Perpajakan di dalam Islam didasarkan oleh harta yang tertimbun, bukan dari penghasilan. Sehingga, di dalam wilayah kekuasaan Islam, tidak akan ada pajak penghasilan, pajak jalan, dan semacamnya. Artinya, tiap individu akan memiliki lebih banyak uang dari penghasilannya sehingga bisa ia tanam di sektor ekonomi riil, yang akan memiliki efek berlipat karena berputarnya uang dari orang ke orang yang lain. Keberadaan bunga, pasar keuangan, dan pajak secara langsung adalah faktor-faktor yang menghalangi perputaran harta.

Sistem Islam jelas-jelas meletakkan aturan-aturan terhadap kepemilikan dan bagaimana mencairkan aset-aset; ini semua tercantum dalam prinsip-prinsip umum yang bisa digali dengan metoda qiyas dari realita-realita baru. Ini semua akan menyebabkan kestabilan ekonomi,suatu situasi yang nyaris tidak pernah ada dalam sistem ekonomi Barat,dengan pasar bebas dan ekonomi bebasnya. Dalam setiap krisis dan bencana keuangan, banyak kalangan selalu menuding peran atau campur tangan pemerintah atau justru menganjurkan pemberian kebebasan kepada mekanisme pasar. Ironisnya, justru campur tangan pemerintahlah yang justru menyelamatkan eksistensi ekonomi Kapitalisme, dengan mekanisme bail-out (penyuntikan dana) dan penggunaan harta Negara, sehingga para bank bisa terhindar dari keambrukan total. Padahal dan ironisnya, justru para bank tersebutlah yang pada awalnya berperan sebagai lembaga yang paling getol dan vokal dalam menyuarakan deregulasi (yaitu pelonggaran peraturan atau minimalisasi campur tangan pemerintah).

Kesimpulan

Krisis kredit macet global, sekali lagi menggarisbawahi rentannya Kapitalisme dimana efek multidimensi dari krisis tersebut memerlukan dan menuntut diberlakukannya sistem alternatif. Dalam hal ini, sistem ekonomi Islam –yang sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekedar pelarangan riba/bunga– berada dalam posisi penting untuk berperan sebagai sistem alternatif. Berbeda dari Kapitalisme, sistem ekonomi Islam selalu menomorsatukan kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat secara riil –bukan sekedar pertumbuhan ekonomi saja– sebagai isu utama yang memerlukan jalan keluar dan penerapan kebijakan.( Adnan Khan; aktivis Hizbut Tahrir Inggris; HTB/Selasa, 16 September 2008)

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/06/kapitalisme-bencana/

Tidak ada komentar: