Sabtu, 11 Oktober 2008

ISLAM: IDEOLOGI PENEBAR RAHMAT

Ada tiga pertanyaan mendasar yang senantiasa ingin dipecahkan oleh manusia menyangkut keberadaannya di dunia ini. Ketiga pertanyaan itu adalah: (1) Darimana asal manusia dan kehidupan ini?; (2) Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?; (3) Mau kemana manusia dan kehidupan setelah ini? Ketika tiga pertanyaan di atas terjawab—terlepas jawabannya benar atau salah—maka seseorang telah memiliki landasan, tuntunan, sekaligus tujuan hidup. Dia akan hidup di dunia ini sesuai dengan landasan itu. Dia akan berbuat dengan standar dan nilai-nilai yang didasarkan pada landasan tersebut. Dia akan menjalankan aktivitas ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain berdasarkan landasan tersebut. Bahkan ia akan mengajak orang/kaum lain agar menjalankan kehidupannya dengan mengikuti landasan tersebut. Pada masa sekarang, pada faktanya, landasan hidup yang digunakan manusia itu adalah ideologi.
Saat ini, hanya ada 3 (tiga) ideologi yang diemban oleh manusia, yakni: (1) Komunisme, yang didasarkan pada akidah materialisme; (2) Kapitalisme, yang didasarkan pada akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan); (3) Islam, yang didasarkan pada akidah Islam.
Ideologi Komunisme menjawab tiga pertanyaan di atas dengan jawaban: bahwa manusia dan kehidupan dunia ini berasal dari materi dan ada dengan sendirinya; manusia hidup di dunia ini untuk mencari kebahagian material; dan kelak manusia akan kembali lagi menjadi materi. Itulah materialisme yang menjadi akidah dari ideologi ini.
Walhasil, ideologi Komunisme menafikan keberadaan Tuhan sama sekali (ateis). Para pengembannya hidup dengan aturan yang dibuat sendiri, dengan standar baik-buruk yang mereka kehendaki. Mereka berbudaya, berpolitik, dan berekonomi untuk mencapai kebahagiaan material. Mereka tidak menyakini adanya hal-hal gaib (Tuhan, ruh, akhirat, pahala-dosa, dll) di luar materi. Jelas ideologi ini—yang menafikan keberadaan Zat sebelum alam dunia ini (Tuhan) dan adanya kehidupan setelah dunia ini (akhirat)—tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki naluri beragama (religiusitas). Ironisnya, religiusitas yang sejatinya mendorong manusia untuk menyucikan dan mengagungkan Tuhan, diarahkan oleh ideologi ini ke penyucian dan pengagungan terhadp sesama manusia, yakni para pemimpin mereka. Wajar jika penyimpangan ideologi ini dari fitrah manusia menciptakan berbagai ketidakpuasan spiritual dan ketidaktenteraman jiwa bagi para pengembannya.
Adapun ideologi Kapitalisme menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban: bahwa manusia dan kehidupan ini diciptakan oleh sang Pencipta, Tuhan. Namun, Tuhan tidak mengurusi urusan yang terkait dengan kehidupan dunia. Tuhan hanya mengatur hubungan antara Diri-Nya dan makhluk-Nya dalam masalah ibadah/keakhiratan semata. Walhasil, ideologi ini percaya bahwa Tuhan itu ada dan kehidupan setelah dunia itu juga ada, namun Tuhan dianggap tidak berperan apa-apa dalam mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Dari sini muncullah pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Urusan dunia (ekonomi, politik, sosial, budaya, dll) diatur sepenuhnya oleh manusia, sedangkan aturan yang berhubungan dengan akhirat (tatacara peribadatan) diatur oleh Tuhan. Itulah sekularisme, yang menjadi akidah dari ideologi ini.
Ideologi Kapitalisme pun jelas tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, kita sejatinya memahami bahwa Tuhanlah yang mengetahui persis hakikat manusia ketimbang manusia sendiri. Artinya, Tuhanlah sejatinya yang paling mengetahui aturan-aturan yang terbaik yang harus menjadi pedoman hidup manusia di dunia, bukan manusia yang akalnya sangat terbatas. Terbukti, berbagai peraturan yang dibuat oleh manusia justru menimbulkan banyak persoalan, bahkan bencana, bagi manusia sendiri. Wajar jika ideologi ini pun telah menimbulkan berbagai ketidakpuasan spiritual dan ketidaktenteraman bagi jiwa manusia. Itulah yang terjadi di Barat saat ini.
Sebaliknya, ideologi Islam menjawab tiga pertanyaan di atas dengan jawaban paripurna, memuaskan akal, dan sesuai dengan fitrah manusia. Ideologi Islam menjelaskan bahwa di balik alam dan kehidupan ini ada sang Pencipta, Tuhan, yang menciptakan manusia dan seluruh alam dari ketiadaan, sekaligus memberikan tugas/amanah kehidupan kepada manusia. Untuk itu, manusia diberi petunjuk/tuntutan hidup berupa aturan-aturan yang jelas, yang bersumber dari wahyu Tuhan, berupa al-Quran dan as-Sunnah. Amanah/tugas inilah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat, sebuah kehidupan lain setelah dunia ini. Itulah pemahaman inti dari akidah Islam, yang menjadi dasar dari ideologi Islam.
Ideologi Islam jelas masuk akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, manusia memang membutuhkan sang Pencipta sebagai Zat Yang layak untuk disembah, sekaligus yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia di dunia, karena Dialah Yang paling tahu atas apa yang terbaik bagi manusia. Dialah Allah Swt. Karena itu, dalam meniti kehidupannya (dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dll) manusia harus senantiasa menyandarkan diri pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt., yakni syariat Islam.
Walhasil, ideologi Islam adalah satu-satunya ideologi yang masuk akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Terbukti, dalam sejarahnya, sepanjang ideologi Islam diterapkan dalam realitas kehidupan, sebagaimana pernah terjadi selama berabad-abad pada masa Daulah Islamiyah zaman Nabi saw. dan Kakhilafahan Islam, ideologi Islam mampu menciptakan kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, keadilan, kemajuan, sekaligus ketenteraman jiwa manusia; sesuatu yang tidak pernah dapat dicapai oleh ideologi Komunisme maupun Kapitalisme.

Islam: Ideologi Penebar Rahmat
Allah Swt. berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tiadalah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS al-Anbiya' [21]: 107).

Ayat di atas merupakan jaminan dari Allah Swt.—yang tidak mungkin meleset—bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. (yang tidak lain merupakan seperangkat aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia), jika diterapkan secara total dan benar, pasti akan membawa rahmat bagi manusia dan seluruh alam. Secara total, artinya hukum-hukum Islam diterapkan secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan, dan secara benar, artinya sesuai dengan mekanisme yang memang telah digariskan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya, yakni melalui institusi negara (Daulah Islamiyah/Khilafah Islamiyah).

MENIMBANG IDEOLOGI
Dengan Nalar dan Fitrah Kemanusiaan
Oleh: Arief B. Iskandar

Pengantar
Secara fitrah, manusia adalah makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles). Keserbaterbatasan manusia ini telah cukup mengantarkan manusia pada situasi dimana ia senantiasa membutuhkan—dan bergantung pada—Zat Yang Tak Terbatas alias Yang Mahamutlak (Absolutismus uber alles); Dialah Tuhan sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi, Wâjib al-Wujûd); Dialah Allah Swt.
Secara fitrah pula, manusia dianugerahi oleh Allah Swt. naluri untuk beragama atau religiusitas (gharîzah at-tadayyun), yang merupakan sesuatu yang sudah built-in dalam dirinya, bahkan sejak sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri ini telah cukup mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa yang dianggapnya sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi) itu.
Sayang, dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan manusia "tahu diri"; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak menggunakan akal) atau karena mereka terlalu percaya diri akibat hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Pada saat ini, ketidaktahudirian manusia itu tercermin dalam dua sikap: (1) Pengingkaran secara total (sepenuh hati) terhadap eksistensi Tuhan sang Pencipta (ateisme). Ini tergambar pada manusia yang berpaham materialisme. Materialisme ini kemudian menjadi dasar pijakan ideologi Sosialisme-komunis. (2) Pengingkaran secara "setengah hati" terhadap eksistensi Tuhan. Ini tergambar pada manusia yang berpaham sekularisme, yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia, karena yang dianggap punya otoritas untuk mengatur manusia adalah manusia sendiri. Sekularisme ini kemudian menjadi landasan ideologi Kapitalisme-sekular.
Padahal, alhamdulillah, dengan kasih-sayang-Nya, Allah Swt. telah lama—jauh sebelum kelahiran ideologi Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular—menurunkan wahyu-Nya kepada manusia untuk membimbing manusia kembali pada fitrahnya, kembali pada jatidirinya yang asli, yakni sebagai makhluk yang serba terbatas dan memiliki—secara built-in—religiusitas dalam dirinya. Wahyu itu tidak lain adalah Islam, yang akidahnya mengajari manusia untuk meyakini secara total dan sepenuh hati eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Akidah inilah yang kemudian menjadi basis ideologi Islam sebagai satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah manusia.
Tulisan berikut tidak lain ingin membuktikan kembali "klaim" di atas—yakni bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi rasional dan sesuai dengan fitrah manusia—dengan cara membandingkan ketiga ideologi di atas, yakni Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular, dan Islam; melalui perspektif yang paling mendasar: akidah.

Realitas Ideologi
Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam. Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada kenyataannya, di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam.

Realitas Akidah Materialisme, Sekularisme, dan Islam

Materialisme.
Materialisme adalah akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan merupakan materi belaka; materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial sehingga tidak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk). Dalam perspektif Karl Marx, peletak dasar ideologi Sosialisme-komunis, alam mengalami evolusi mengikuti hukum gerak materi; alam tidak membutuhkan Akal Holistik (Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003: 3). Senada dengan Marx, Lenin, ideolog sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM), menyatakan, "Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai api yang terus menyala selama-lamanya." (Vladimir Ilich, 1870-1924).
Oleh karena itu, penganut akidah materialisme pada dasarnya adalah ateis (mengingkari Tuhan). Bahkan, penganut akidah ini memandang bahwa keyakinan terhadap Tuhan (agama) adalah berbahaya bagi kehidupan. Dalam bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama adalah "candu" masyarakat dan "minuman keras" spiritual. Dalam manifesto politiknya, Lenin secara ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan spiritual yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat (Lenin, 1972: 83-87).
Pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah keyakinan, bahwa dunia ini harus diatur berdasarkan prinsip dialektika materialisme yang melibatkan semua unsur materi, yakni: manusia, alam, dan sarana kehidupan (alat-alat produksi). Dari sini muncullah ideologi Sosialisme-komunis, yang didasarkan pada akidah materialisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; tentu di luar aspek religiusitas dan spiritualitas manusia yang telah diingkarinya.

Sekularisme.
Sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, akidah ini mengakui keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan. Singkatnya, sekularisme adalah akidah yang menetralkan (memisahkan) agama dari kehidupan.
Secara historis, sekularisme merupakan akidah "jalan tengah" yang lahir pada Abad Pertengahan, sebagai bentuk kompromi para pemuka agama yang menghendaki kehidupan manusia harus tunduk pada otoritas mereka (dengan mengatasnamakan agama), dengan para filosof dan cendekiawan yang menolak otoritas agama dan dominasi para pemuka agama dalam kehidupan. Dengan demikian, para penganut sekularisme sebetulnya tidak mengingkari Tuhan (agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan agar Tuhan (agama) tidak mengatur kehidupan mereka.
Pengingkaran terhadap otoritas Tuhan ini selanjutnya melahirkan sebuah pandangan bahwa manusialah—melalui mekanisme demokrasi—yang berwenang secara mutlak untuk mengatur kehidupannya sendiri secara bebas, tanpa campur tangan Tuhan (agama). Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme-sekular, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; tentu di luar aspek agama yang telah mereka singkirkan dari kehidupan.
Islam.
Islam adalah akidah yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta alam, manusia, dan kehidupan ini; sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan manusia. Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah Swt.
Keyakinan terhadap eksistensi sekaligus otoritas Tuhan inilah yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak dan berhak membuat hukum, sementara manusia hanya sekadar pelaksananya saja. Dari sini lahirlah ideologi Islam, yang juga berisi seperangkat aturan dalam berbagai aspek kehidupan manusia; termasuk yang menyangkut aspek religiusitas dan spiritualitas manusia, atau yang menyangkut agama.

Menimbang Ideologi Sosialisme-komunis, Kapitalisme-sekular, dan Islam
Dari paparan di atas, manakah akidah/ideologi yang masuk akal (rasional) dan sesuai dengan fitrah manusia? Jawabannya adalah sebagai berikut:

Sosialisme-komunis.
Dalam perspektif rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta, ideologi ini jelas tidak rasional. Alasannya: (a) Seluruh materi yang ada di dunia ini, termasuk manusia, memiliki keterbatasan dan bergantung pada yang lain. Akal kita yang jujur akan mengakui, bahwa segala yang terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang Tak Terbatas. Itulah Pencipta, Tuhan. (b) Manusia dan alam semesta memiliki keseimbangan, keteraturan, harmoni, dan keindahan yang luar biasa; yang semua itu tidak mungkin terjadi serba kebetulan tanpa ada Zat Yang menciptakan dan mengendalikannya.
Adapun secara fitrah, ideologi ini jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa dalam diri manusia ada naluri beragama (religiusitas), yang mendorongnya selalu cenderung untuk melakukan pengagungan/pemujaan kepada Zat Yang lebih tinggi dari dirinya; baik mereka akui atau tidak; baik yang mereka agungkan itu Tuhan Yang sebenarnya atau "Tuhan" palsu. Pada faktanya, orang-orang ateis hanya mengalihkan pengagungan itu—yang seharusnya kepada Tuhan—menjadi kepada manusia.

Kapitalisme-sekular.
Dalam tinjauan nalar, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur manusia adalah juga tidak rasional. Alasannya: (a) Pengingkaran atas otoritas itu telah melahirkan sikap manusia untuk membuat sendiri aturan bagi kehidupannya. Padahal manusia, sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa memahami hakikat dirinya sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah Pencipta-Nya, yakni Allah Swt. Apabila manusia tidak memahami hakikat dirinya sendiri, apalagi membuat aturan yang terbaik bagi dirinya. (b) Tuhan—dalam hal ini Allah Swt.—telah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui utusan (Rasul)-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Secara rasional, al-Quran dapat dibuktikan kebenarannya sebagai wahyu Allah. Karena itu, menjauhkan otoritas Tuhan Yang Mahatahu untuk mengatur kehidupan manusia adalah tidak rasional.
Adapun secara fitrah, manusia, ketika dibiarkan bebas membuat sendiri peraturan bagi kehidupannya, terbukti melahirkan banyak perbedaan, pertentangan, bahkan konflik. Peraturan yang dibuat juga sering berubah-ubah sesuai dengan kecenderungan dan hawa nafsu manusia. Lebih dari itu, fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, menciptakan banyak kerusakan, dan menimbulkan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi seperti saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada rakyat melalui mekanisme demokrasi.
Islam.
Dalam perspektif akal, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan manusia adalah rasional. Alasannya: (a) Pada faktanya, di samping akal dapat membuktikan secara benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah Swt. itu ada, akal pun dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa al-Quran kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan secara rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan dengan aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang Mahakuasa. (b) Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat bagi umat manusia seluruhnya. Ini adalah fakta sejarah yang pernah terjadi dan berjalan selama-berabad-abad sejak zaman Nabi saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan Kekhilafahan Islam terakhir di Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan terhadap al-Quran yang dilakukan penguasa.
Adapun secara fitrah, pengakuan atas eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur manusia sesuai dengan fitrah manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah; yang menjadikannya butuh pada yang lain. Keserbaterbatasan, keserbakurangan, dan keserbalemahan manusia ini pada faktanya membuktikan bahwa manusia membutuhkan berbagai peraturan bagi kehidupannya yang tidak berasal dari dirinya, tetapi bersumber dari al-Khalik, Tuhan Pencipta alam.

Kesimpulan
Walhasil, dari paparan di atas, secara nalar (rasio, akal) maupun fitrah, juga berdasarkan realitas sejarah manusia, terbukti bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebaliknya, Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular adalah ideologi yang tidak rasional dan bertentangan dengan fitrah manusia; di samping terbukti dalam sejarah telah menimbulkan banyak ekses negatif, kerusakan, dan kekacauan.
Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah), yang memang telah sesuai dengan fitrah manusia, dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan kehidupan umat manusia. Keengganan manusia untuk diatur dengan aturan-aturan Allah hanyalah merupakan bukti kesombongan, kelancangan, dan kekurangajaran dirinya di hadapan Penciptanya, Allah Swt., Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu. Jika kita tetap bertahan untuk berkubang dalam aturan-aturan buatan manusia dan tetap enggan diatur dengan aturan-aturan Allah, layaklah kita merenungkan kembali firman Allah Swt. berikut:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).

Ya, sekali ini kita patut merenungkan: Adakah hukum/aturan yang lebih baik dibandingkan dengan hukum/aturan-aturan Allah?! Apakah hukum/aturan-aturan yang berasal dari ideologi Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular—yang notabene buatan manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah—yang lebih baik ataukah hukum/aturan-aturan Islam yang notabene buatan Allah Pencipta manusia Yang Mahatahu atas segala sesuatu?!
Lalu mengapa kita tetap betah berkubang dalam sistem/aturan yang berasal dari Kapitalisme-sekular yang terbukti buruk ini dan tidak segera beranjak menuju sistem/aturan yang bersumber dari ideologi Islam sebagai ideologi penebar rahmat?! Telah butakah mata dan kalbu kita?! Na‘ûdzu billah mindzâlik! []

Daftar Bacaan:

‘Abduh, Ghanim, 1963, Naqd al-Isytirâkiyah al-Marksiyah, t.p., Al-Quds.
Abdullah, Muhammad Husain, 1990, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, Darul Bayariq, Beirut.
An-Nabhani, Taqiyuddin, 1953, Nizhâm al-Islâm, t.p., al-Quds.
Ismail, Muhammad Muhammad,. 1958, Al-Fikr al- Islâmi, t.p, Kairo.
Lenin, Collected Works, Progress Publishers, Moscow, 1972. Cet. ke-3.













Tidak ada komentar: