Sabtu, 11 Oktober 2008

Kegoncangan Pasar Modal di Barat (2)

Pasar-pasar modal di Barat tak akan benar-benar eksis, hidup, dan berkembang, kecuali dengan adanya tiga sistem pokok dalam sistem perekonomian kapitalis : 

1. Sistem Perseroan Terbatas.

2. Sistem Perbankan Ribawi.

3. Sistem Uang Kertas Inkonvertibel (flat money).


Ketiga sistem tersebut bekerja secara sinergis untuk membagi perekonomian kapitalis menjadi dua sektor, yaitu : (1) sektor riil, yang di dalamnya terdapat aspek produksi serta pemasaran barang dan jasa riil, (2) sektor ekonomi modal/kapi- tal, yang oleh sementara orang disebut sektor non-riil. Di dalamnya terdapat aspek penerbitan dan jual-beli surat-surat berharga yang beraneka ragam. Surat-surat berharga ini haki- katnya adalah transaksi-transaksi yang bersifat mengikat, atau akte-akte dan sertifikat-sertifikat, yang mewakili hak-hak yang dapat dialihkan secara sepihak, dengan cara menjual atau mem- belinya, yang berkenaan dengan kepemilikan perusahaan, utang perusahaan atau utang pemerintah, atau mengenai harta-harta tak bergerak, dan banyak “hak-hak” lain yang telah ditetapkan oleh surat-surat berharga yang diedarkan. Hak-hak lain ini misalnya adanya pilihan sementara untuk membeli atau men- jual hak orang lain dengan harga tertentu yang berbeda dengan harga yang sedang berlaku. Semua ini termasuk hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan sektor ekonomi riil. Per- kembangan sektor non-riil ini telah sedemikian jauhnya, sampai-sampai nilai muamalah pada sektor tersebut besarnya berlipat ganda dari nilai sektor riil.

Mengenai sistem perseroan terbatas (public limited com- pany/PT Publik), pada awalnya sistem ini muncul agar para pemilik modal dan pengelola perusahaan dapat melindungi aset mereka yang besar dari orang-orang yang meminjamkan modalnya (kreditor) dan pemilik hak lainnya dalam usaha- usaha mereka, seandainya perusahaan mengalami kegagalan. Sistem ini juga dibuat agar para pemodal dan pengelola perusa- haan dapat menguasai dana masyarakat dalam usaha-usaha mereka. 

Sistemnya memang demikian, karena ada sifat yang unik pada perusahaan terbatas, yaitu tanggung jawab yang terbatas. Jadi kalau misalnya usahanya gagal dan merugi, maka para pemilik hak pada perusahaan itu tidak dapat mengajukan klaim apa pun kepada para peseronya (pemegang saham), berapa pun jumlah modal yang mereka setorkan. Mereka tidak berhak mendapatkan apa pun kecuali aset perusahaan yang tersisa.

Menurut kebiasaan yang berlaku di Barat, perusahaan dimunculkan dan diumumkan oleh pemerintah, bukan oleh para pendirinya. Jadi pemerintahlah yang mengeluarkan akte pendiriannya, menentukan tujuan-tujuannya dan jumlah saham yang boleh diedarkan, serta mempublikasikan anggaran dasar- nya. Oleh karena itu, perusahaan merupakan suatu badan hukum yang berdiri sendiri secara penuh dan terlepas dari para peseronya. Konsekuensinya, pemilik hak hanya dapat meng- ajukan tuntutan kepada perusahaan dan tidak dapat menuntut para peseronya sedikit pun. Dengan demikian, tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada aset perusahaan yang tersisa, bukan pada aset yang dimiliki oleh para peseronya. 

Pada saat pemerintah mengeluarkan akte pendirian peru- sahaan, pemerintah menetapkan suatu dewan komisaris semen- tara dari kalangan pendirinya, yaitu orang-orang yang mengaju-kan permohonan pendirian perusahaan. Kemudian, dewan komisaris tersebut mengangkat seorang direktur perusahaan, dan mulailah perusahaan “menjual” saham-sahamnya, yakni sejumlah dokumen yang merupakan sertifikat-sertifikat surat berharga yang dapat dialihkan. Pembawa saham ini memiliki hak-hak tertentu dan terbatas, yaitu mendapat bagian tertentu dari laba yang dibagikan oleh perusahaan (dividen), mendapat bagian tertentu dari harta perusahaan jika perusahaan bubar (dilikuidasi), dan mempunyai hak suara sekali setahun untuk mengangkat dewan komisaris yang baru. Akan tetapi seluruh hak-hak ini didasarkan pada saham, bukan pada orang yang menjadi pesero. Pada saat pemungutan suara untuk memilih dewan komisaris, misalnya, suara yang menentukan didasarkan pada jumlah saham, bukan pada jumlah orang. Jadi kalau ada satu orang yang memiliki 51 % saham yang diedarkan, dan jumlah para pesero lainnya yang memiliki saham sisanya mencapai 100 ribu orang, maka hakikatnya orang pertama tadi- lah yang memilih dewan komisaris sendirian. Suara dari 100 ribu orang lainnya tidak ada nilainya.

Dalam banyak hal, para pemodal tidak perlu sampai memiliki 50 % saham suatu perusahaan agar mereka dapat mengontrol perusahaan tersebut. Bahkan kadang-kadang cukup memiliki 5 % atau 10 % saham saja, karena tersebarnya mayoritas pesero yang memiliki saham sedikit, atau karena adanya kerjasama di antara sesama pesero besar yang minoritas untuk memilih dewan komisaris, sehingga selanjutnya mereka dapat mengontrol semua modal para pesero dan mengendali- kan semua kegiatan perusahaan. 

Kenyataan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat umum. Dengan adanya kenyataan ini, maka mayoritas pesero tidak dapat lagi mengelola modalnya dalam perusahaan. Mereka hanya dapat mengalihkan saham mereka –dengan menjual atau membelinya– di pasar modal. Akibatnya, mereka tidak lagi menjadi rekanan perusahaan, tetapi hanya sekedar pemegang surat-surat berharga perusahaan, yang dapat dijual dan dibeli pada pasar modal tanpa perlu izin kepada perusa- haan atau para pesero.

Demikian pula, pasar modal memungkinkan para pesero besar untuk menjual saham mereka kepada perusahaan yang mereka kontrol, tanpa perlu minta izin atau memberitahu siapa pun, sehingga mereka dapat berlepas diri dari tanggung jawab apa pun mengenai kegiatan-kegiatan perusahaan yang mereka kuasai dan mereka kendalikan. Begitu pula tatkala mereka ber- hasrat untuk membeli saham lebih banyak lagi –baik saham perusahaan mereka sendiri maupun perusahaan lainnya– mereka pun tidak perlu minta izin kepada siapa pun. Motivasi yang mendorong mereka untuk membeli atau menjual saham ini tiada lain ialah mendapatkan laba dengan cepat. Jika harga saham perusahaan yang mereka kuasai naik, mereka menjual semua atau sebagian saham mereka. Lalu jika harganya turun, mereka kembali membelinya.

Dengan demikian, mereka sebenarnya tidak punya loyali- tas sedikit pun terhadap perusahaan, para pesero lainnya, kegia- tan perusahaan, dan para pegawai perusahaan. Bahkan dapat dikatakan, keinginan para pemilik modal untuk mengendalikan suatu perusahaan –dengan cara menguasai dewan komisaris- nya– sebenarnya hanya ingin mempengaruhi kegiatan-kegiatan perusahaan sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan kenaik- an harga sahamnya.

Semua ini mengakibatkan terpisahnya pasar modal (saham dan surat berharga/sekuritas lainnya) dari sektor ekono- mi riil, yaitu fakta perusahaan yang memperdagangkan saham- sahamnya. Bukti lain untuk itu adalah adanya nilai PER (Price Earning Ratio) yang selalu dimonitor oleh para pedagang saham di pasar modal, yang dianggap sebagai standar untuk mengukur tinggi-rendahnya harga saham perusahaan tertentu. Nilai PER tersebut adalah perbandingan antara harga saham perusahaan saat sekarang, dengan besarnya dividen untuk satu saham yang dibagikan perusahaan pertahun. Sebagai contoh, jika dividen untuk satu saham bernilai US $ 2 dolar, sedang harga saham di pasar modal sebesar US $ 40 dolar, berarti nilai PER-nya 20 %. Dengan kata lain, laba perusahaan adalah 5 % dari harga sahamnya. 

Koran-koran setiap hari mempublikasikan nilai-nilai PER seluruh perusahaan yang memperdagangkan sahamnya. Dan dengan mempelajari nilai-nilai PER tersebut, nampak bahwa dalam banyak kasus terdapat perbedaan sangat besar antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Kadang-kadang beberapa perusahaan nilainya mencapai 100 %, sedang pada beberapa perusahaan lainnya hanya 5 %.

Kenyataan ini membuktikan terpisahnya hubungan antara pasar modal dengan sektor ekonomi riil dan fakta perusahaan. Maka pasar modal pun akhirnya berubah menjadi kasino besar untuk ajang perjudian. Artinya, spekulasi telah mendominasi pasar modal dan fluktuasi harga yang sangat ekstrem dan ber- ulang telah menjadi watak dari pasar modal tersebut. Inilah fakta sistem perseroan terbatas.

Adapun sistem perbankan ribawi (usurious banking system), sebenarnya merupakan biang bencana dalam sistem ekonomi kapitalis. Sebab, bank telah diberi hak untuk meng- himpun dana dari masyarakat (yang disebut simpanan), menge- lola simpanan tersebut seolah-olah merupakan milik bank sendiri dan bukan milik para penyimpan, serta mendistribusi- kan dana tersebut dengan cara mengkreditkannya kepada para investor dan pengusaha –termasuk para pedagang saham di pasar modal serta para penyimpan sendiri– dengan memungut riba yang telah diperhitungkan untuk setiap kredit (pinjaman).

Namun pendistribusian dana masyarakat tersebut sesung-guhnya tidak bersifat netral. Sebab para pemilik bank –mayo- ritasnya adalah para investor dan grup perusahaan mereka sen- diri– mendapat prioritas utama untuk memperoleh kredit bank dengan suku bunga rendah, dan baru kemudian menyusul para investor dan pengusaha lainnya. Alasan bank melakukan hal ini, karena pengembalian utang mereka ini tidak mengandung resiko. Prioritas berikutnya adalah para pengusaha kecil, lalu menyusul para konsumen dari kalangan masyarakat umum.

Bukti paling nyata adanya pembeda-bedaan dalam pem- berian kredit ini adalah adanya perbedaan suku bunga, yang kini di Amerika berselang antara 8,5 % –pada kredit bagi para investor dan perusahaan raksasa– sampai dengan 20 % pada kredit untuk pembelian sebuah mobil. 

Ringkasnya, sistem ribawi ini secara alamiah akan mem- buat dana masyarakat hanya berputar pada kalangan terbatas yang sedikit jumlahnya.

Peran bank dalam pasar modal lebih berbahaya daripada perannya dalam sektor riil, sebab bank meminjami para peda- gang saham dana yang besarnya berlipat ganda dari dana yang dimilikinya sendiri. Misalnya, sebuah saham dengan harga US $ 100 dolar di pasar modal, dapat dibeli dengan dana US $ 5 dolar dari pembeli saham dan US $ 95 dolar dari pinjaman bank, atau dari para pialang saham, yang pada gilirannya juga meminjam dari bank. Ini berarti, pedagang saham tersebut dapat membeli saham di pasar modal yang jumlahnya menca- pai dua puluh kali lipat dari jumlah yang dapat dia beli dengan dananya sendiri. Akan tetapi bank tidak akan meminjamkan dana berlipat ganda itu kecuali kepada para investor besar. Artinya, para invetor besar sajalah yang mampu melipatganda- kan kekuatan mereka di pasar modal karena bantuan bank. Hanya merekalah yang dapat melipatgandakan kemampuan mereka untuk mempengaruhi dan merekayasa pasar untuk menaikkan atau menurunkan harga saham. Akhirnya hanya merekalah yang dapat mengembangkan harta kekayaan dengan mengorbankan masyarakat umum, para penabung, dan para pedagang saham lainnya.

Dan mengingat sebagian besar saham yang dibeli adalah dana utang dalam jumlah besar, maka jatuhnya harga saham dalam banyak kasus akan semakin memerosotkan harga saham tersebut. Misalnya, sebuah bank bersedia meminjami seorang pedagang saham 90 % dari nilai saham yang hendak dia beli. Lalu orang itu membeli saham seharga 1 juta dolar. Berarti utangnya dari bank sebesar 900 ribu dolar. Kemudian katakan- lah harga-harga saham turun 20 %. Maka nilai sahamnya men- jadi 800 ribu dolar, dan pinjaman yang diizinkan baginya men- jadi 90 % dari 800 ribu dolar tadi, atau sebesar 720 ribu dolar. Jadi dia harus segera mengembalikan ke bank sebesar 180 ribu dolar dari pinjamannya, agar persentase pinjamannya tetap 90 % dari nilai sahamnya. Jika dia cukup mempunyai dana untuk melunasi pinjamannya itu, maka dia tak perlu menjual saham- nya. Tapi jika dia tak cukup mempunyai dana, dia akan ter- paksa menjual sahamnya dengan segera untuk melunasi pinja- mannya kepada bank. Tindakan ini akan meningkatkan pena- waran saham, sehingga akan semakin memerosotkan harga saham. Jika sejumlah pedagang saham berada dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi kemerosotan harga saham yang beruntun dan boleh jadi akan mengakibatkan kegoncangan pasar.

Atas dasar itu, peran sistem bank ribawi di pasar modal sebenarnya bergantian antara menaikkan dengan menurunkan volume perdagangan dan harga saham. Dalam kondisi mening- katnya harga saham-saham tertentu, bank menyediakan dana besar sebagai pinjaman kepada para pedagang saham, yang akan melipatgandakan dana yang mereka miliki sendiri. Mere- ka akan membeli lebih banyak saham, sehingga akan semakin melonjakkan harga saham secara tajam. Akan tetapi kadang- kadang kondisi ini dapat berubah dengan cepat, sehingga harga saham tertentu akan turun karena satu alasan tertentu, seperti adanya isu dan kegagalan suatu proyek. Bank kemudian akan mengurangi pinjamannya untuk menurunkan nilai saham yang dijamin atas pinjamannya, sehingga para pedagang saham akan menjual sebagian atau seluruh sahamnya. Ini akan memper- cepat anjoknya harga saham secara drastis, yang pada giliran- nya akan membuat bank makin mengurangi pinjaman-pinja- mannya, agar turunnya harga saham dapat terus berlanjut.

Lalu dari mana bank-bank memperoleh semua dana ini dan kemana saja dana itu pergi ketika bank mengurangi pin- jamannya ? Jawabnya, dana-dana itu mula-mula berasal dari para penyimpan. Sebab bank dalam sistem bank ribawi ber- sandar pada satu harapan bahwa masyarakat akan menyimpan sebagian besar dananya di bank. Bank-bank juga bersandar pada harapan bahwa sebagian besar dana yang ditarik dari satu rekening di bank, akan dapat ditalangi oleh rekening lain di bank itu sendiri atau di bank lain. Dengan demikian, sebagian besar dana tetap tersimpan di bank. Dana yang dipinjamkan oleh bank itu sebenarnya tidak berasal dari kas bank itu sendiri, melainkan dari rekening yang telah dibuat bank, dengan cara membuka dua rekening untuk pihak peminjam : satu untuk pinjaman yang harus dia lunasi (utang), dan satu lagi berupa rekening simpanan dengan jumlah dana yang dihasilkan dari utangnya tersebut, agar peminjam dapat menarik berapa saja dananya dari rekening ini. Tapi kalau misalnya sebagian besar penyimpan dan peminjam menarik simpanan mereka secara tunai dalam waktu bersamaan, niscaya bank tidak akan mampu menyediakan dana. Sebab, sebagian besar simpanan tersebut telah berubah menjadi pinjaman-pinjaman, yang mungkin saja macet atau ada di bank lain sehingga tidak mungkin tersedia dalam waktu singkat. Dalam keadaan seperti ini, pada umum- nya bank akan dilikuidasi dan mengakhiri usahanya. 

Sistem bank ribawi sesungguhnya didasarkan pada “kepercayaan” terhadap bank dan “kepercayaan” bahwa simpa- nan masyarakat di bank berada dalam keadaan aman. Artinya masyarakat dimungkinkan untuk menarik semua simpanan mereka kapan saja. Padahal, semua kepercayaan itu hanyalah tipu daya yang tidak sesuai dengan kenyataan bank sesungguh- nya. Tipu daya ini seringkali terbongkar di Barat –dan di bagian dunia lainnya– tatkala para penyimpan gagal memper- oleh simpanannya dan kehilangan sebagian besar hartanya pada saat bank ditutup atau dinyatakan bangkrut. Karenanya, Barat lalu membuat sistem uang kertas yang inkonvertibel/tak dapat ditukarkan (inconvertible paper money), dan menetapkan pengawasannya di bawah sebuah bank sentral untuk seluruh bank di suatu negara. 

Semua ini adalah usaha untuk menutup-nutupi cacat sistem bank ribawi yang didasarkan pada tipu daya, serta untuk mencegah keruntuhan bank dan menjaga “kepercayaan” ma- syarakat terhadap sistem ekonomi kapitalis.

Sistem uang kertas tersebut memberikan kewenangan kepada bank sentral untuk menerbitkan uang yang akan diedar- kan di suatu negara dalam bentuk kertas tercetak yang tidak memiliki nilai intrinsik sedikit pun. Sistem tersebut juga meng- haruskan rakyat di negara itu untuk menerima uang tersebut dalam penunaian hak-haknya. Jika misalnya seseorang tidak mau menerima uang tersebut untuk pelunasan utangnya, maka undang-undang dan peradilan yang ada akan memaksanya untuk menerima, atau kalau tidak haknya akan terabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa bank sentral berhak untuk menerbitkan uang baru sesuai kehendaknya untuk merealisasikan haluan politik negara. Misalnya, pada saat kas negara tidak lagi mem- punyai persediaan dana dari pajak dan sumber-sumber lain, maka negara akan segera berpaling kepada bank sentral dan “meminjam” dana darinya, yakni bank sentral akan mencacat utang atas nama negara dan membuat satu rekening simpanan (untuk negara) yang darinya dapat ditarik dana untuk mem- biayai kebutuhan negara. Ini dianggap sebagai uang baru. Begitu pula kalau misalnya bank sentral memperkirakan bahwa masyarakat membutuhkan lebih banyak dana untuk pinjaman, maka bank sentral akan membeli sejumlah surat utang kas negara atau surat utang perusahaan-perusahaan, dan nilai surat- surat tersebut dicatat dalam rekening-rekening para penjualnya pada bank sentral itu sendiri atau pada bank-bank niaga. Dan ini juga dianggap uang baru.

Contoh untuk itu adalah apa yang pernah terjadi pada Oktober 1987, ketika nilai-nilai saham di New York anjlok sebesar 22 % dalam satu hari. Bank Sentral Amerika segera menerbitkan uang baru yang dapat digunakan oleh bank-bank guna mengoreksi dampak-dampak kegoncangan pasar. Bank Sentral Amerika membeli surat-surat utang senilai milyaran dolar dari perusahaan dan pada umumnya dari pasar modal. Dengan demikian, harga surat-surat itu dapat dimanfaatkan oleh bank, sehingga bank dapat meminjamkan kepada para pedagang saham dan meringankan beban mereka. Terapi ini memang berhasil –walaupun sementara– untuk menutup- nutupi cacat-cela sistem bank ribawi, kendati telah tersebar isu bahwa bank terbesar di New York –yakni City Bank– hampir saja ditutup. 

Akan tetapi, penerbitan uang baru –dengan cara men- cetak uang kertas dan mencatat nilainya dalam rekening- rekening negara atau masyarakat– membutuhkan biaya sangat mahal yang mau tak mau harus dipikul masyarakat awam tanpa mereka ketahui mengapa hal itu terjadi. Karena penerbitan uang oleh bank sentral artinya adalah memperbanyak jumlah uang yang beredar, sehingga nilai uang akan turun. Karenanya, salah satu cacat cela sistem ini adalah adanya fenomena ke- naikan harga barang dan jasa yang berlangsung terus menerus. Fakta kenaikan harga ini –yang disebut sebagian orang sebagai inflasi– nampak pada penurunan nilai uang masyarakat dan penurunan nilai gaji/upah beserta kualitas hidup mereka.

Namun cacat paling prinsipil dalam sistem ini adalah, semua mekanismenya didasarkan pada “permainan kepercaya- an”, yaitu tipu daya bahwa uang kertas itu mempunyai nilai. Padahal uang tersebut tidak mempunyai nilai intrinsik apa pun. Meskipun demikian, undang-undang negara tetap memaksakan pemberlakuannya dan menganggapnya dapat digunakan untuk melunasi utang dan membayar hak-hak (klaim) di depan pengadilan.

Berdasarkan hal itu, kita dapat melihat bahwa pada negara yang lemah –di mana stabilitas politik dan kewibawaan- nya dapat digoncang dengan mudah– uang kertasnya akan menjadi sangat lemah, sehingga dalam banyak kasus para penguasanya akan mengurangi nilai mata uangnya terhadap mata uang lain (devaluasi). Tujuannya adalah agar mereka dapat memulai lagi “permainan kepercayaan” tadi dan berhasil menipu rakyat dalam hal nilai mata uang. 

Inilah hakikat pasar modal di Barat dan di negeri-negeri lain yang mengekor dan bertaqlid kepada Barat. Pasar modal sebenarnya hanya lahan subur bagi para investor saja, meng- ingat ia tak menghasilkan komoditas apa pun yang berguna bagi masyarakat. Di samping itu para pedagang saham di sana hakikatnya tak punya motif apa pun, selain meraup laba yang besar dengan cepat dan mudah. Pasar modal lebih mirip kasino untuk ajang judi daripada aktivitas apa pun. Dia bagaikan sarang laba-laba yang begitu ringkih dan begitu mudah untuk digoncang. Dia adalah simbol keserakahan kapitalis akan nilai- nilai kehidupan yang materialistis. Seandainya saja tidak ada sistem perseroan terbatas, sistem bank ribawi, dan sistem uang kertas inkonvertibel, niscaya pasar parasit ini tak akan eksis dan bertahan hidup.

Inilah fakta pasar modal di Barat dan di negeri-negeri lain yang mengekor dan bertaqlid kepada Barat.bersambung…

((Sumber : Judul Asli : هزّات الأسواق المالية أسبابها وحكم الشرع فى هذه الأسباب ; Dikeluarkan dan disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir, Rajab 1418 H/Nop. 1997 M )

Tidak ada komentar: