Minggu, 26 April 2009

Benarkah Kartini Seorang Pejuang Pengusung Ide Feminisme?




“ Kyai, seama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al Quran yang sinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran dalam bahasa Jawa? Bukankah Al Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” Begitu komentar Kartini ketika bertanya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat.

Pemeikiran Kartini berubah, yang tadinya menganggap Barat (Eropa) sebagai kiblat, lalu menjadikan Islam sebagai qaidah fikriyah (landasan berfikir)nya. Hal ini setidaknya terlhat dari surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi, “ Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa dibalik sesuatu yang indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekalai tidak patut disebut peradaban?”

Demikian pula dalam surat Kartini kepada Ny. Van Kol. 21 Juli 1902 yang isinya, “moga-moga kami mendapatkan rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
Setelah mempelajarai Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji Al Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah Swt (yang artinya), “…. Mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS Al Baqarah: 257).” Yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisanya dengan , “ Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kartini memiliki cita-cita luhur , yakni mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri daru hokum yang tidak adil dan pahampaham materialism, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan menjalankan kewajibannya. Ini terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902, yang isinya, “ Kami disini memohon untuk diusahakan pengajaran dan pendidkan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami meninginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Beberapa surat Kartini diatas setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan perempuan saat itu agar dapat mendapatkan haknya, diantaranya menuntut pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajiban dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan gender (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis.

Kartini adalah sosok perempuan yg berani menentang adat istiadat yg kuat dilingkungannya (Jawa). Dia menganggap setiap manusia sederajat sehingga manusia tidak seharusnya dibeda-bedakan berdasarkan asal-usul keturunannya (kelas social). Memang pada awalnya Kartini begitu mengagungkan kehidupan Liberal di Eropa yang tidak dibatasi tradisi sebagaimana di Jawa. Namun, setelah Kartini sedikit mengenal Islam, Kartini justru mengkritik peradapan Barat dan menyebutnya sebagai kehidupan yg tdak layak disebut sebagai peradaban.

Dalam suratnya Kartini meminta pemerintah Hindia Belanda memperhatikan kaum pribumi dengan menyelenggarakan pendidikan, terutama bagai perempuan. Hal ini karena perempuanlah yang membentuk budi pekerti anak. Berulang2 kartini menyebut perempuan adalah Istri dan pendidik anak yang pertama-tama. Dia menginginkan agar perempuan lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya dan tidak bermaksud menjadikan anak-naka perempuan sebagai saingan laki-laki. Tidak ada keinginan Kartini untk mengejar persamaan hak dengan laki-laki dan meninggalkan perannya dalam rumah tangga. Bahkan ketika ia menikah dengan seorang duda yang memiliki banyak anak, Kartini sangat menikmati tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak sumainya. Inilah yg membuat Stella, sahabatnya heran.

Demikianlah sosok Kartini, mengajak setiap perempuan memegang teguh ajaran agamanya, dan meninggalkan ide kebebasan yang menjauhkan perempuan dari fitrahnya. Kini jelas bahwa apa yg diperjuangkan oleh aktivis jender dengan mendorong perempuan meraih kebebasan dan meninggalkan rumah tangganya bukanlah perjuangan Kartini. Sejarah Kartini telah disalah gunakan untuk kepentingan pengusung ide feminism barat, sehingga kaum muslimah dijauhkan dari Islam dengan dalih kebebasan, keadilan, dan kesetaraan jender.

Mengenai adanya perempuan2 lain yg hebat maka saya ikut apresiasi terhadap mereka, semoga Allah menerima segala amal baiknya.

Mengenai panglima perang wanita, maka di Jawa juga terkenal dgn Nyimas Ratu Kalinyamat, dia adalah perempuan yg membawa pasukan melawan Belanda setelah suaminya dibunuh oleh Aryo Penangsang. Dia digambarkan secara buruk oleh Belanda sebagai wanita yg bertapa dengan telanjang, padahal maksudnya dia pergi menyendiri menuntut kepada Kesultanan Pajang untuk mengadili Aryo Penangsang hingga akhir hayatnya dia tidak bersuami lagi. Suami dlm Islam adalah pakaian, maka jika tanpa suami artinya tidak berpakaian. Tetapi makna itu diselewengkan oleh Belanda.

Masih tidak simpati terhadap Kartini?

Mohon maaf jika salah. Semoga bermanfaat.

Wassalamualaikum wr wb

Be syariah lovers

Ardobinardi.blogspot.com