Rabu, 08 Oktober 2008

Hukum Seputar Dakwah Wanita

Apa sebenarnya peran kaum wanita Muslimah dalam mengemban dakwah Islam. Secara syari’ apakah mereka wajib mengemban dakwah seperti halnya kaum pria, atau bagaimana?


Pada dasarnya, hukum syara’ itu dibebankan kepada laki-laki dan wanita. Tidak ditemukan perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal taklif (pembebanan hukum), kecuali bila terdapat nash-nash yang membedakannya.


Apabila terdapat seruan seperti: “Hai orang-orang yang beriman”, maka seruan tersebut selain ditujukan untuk kaum lelaki mencakup pula wanita. Dengan demikian, tidak perlu ada seruan khusus untuk kaum wanita, misalnya: “Wahai orang-orang wanita yang beriman”.


Dalam bahasa arab terdapat kaidah yang menyatakan bahwa seruan bagi kaum laki-laki sekaligus mencakup seruan bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan seruan bagi perempuan, tidak mencakup bagi laki-laki; ia terbatas hanya untuk kaum wanita saja. Atas dasar tersebut dapat dipahami bahwa seruan-seruan Allah SWT seperti1): “Wahai, orang-orang yang beriman”; “Wahai manusia”; “Janganlah kalian membunuh jiwa”; “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang-orang yang menyeru kepada Allah [berdakwah kepada Islam] dan melakukan amal shaleh [melaksanakan hukum-hukum Islam]“; “Dan taatilah Allah, taatilah Rasul dan para pemimpin (pejabat yang menerapkan Islam) dari kalangan kamu”;


——————-

1) Contoh-contoh dari sekian banyak seruan yang terdapat pada ayat-ayat Al Qurâan. “Tegakkanlah shalat dan keluarkanlah zakat”; atau “Sempurnakanlah haji dan umrah itu bagi Allah”.


Juga dapat kita pahami seruan-seruan Rasulullah saw, seperti2): “Kaum muslimin terpelihara darah mereka”; “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata benar atau diam”; “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya”; “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”; atau “Sebarkanlah oleh kalian salam di antara kamu”.


Walaupun kata-kata yang terdapat dalam firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah saw tersebut di atas semuanya berbentuk muzhakar (jenis laku-laki), akan tetapi seruan yang demikian telah disepakati bahwa ia juga mencakup bagi wanita.


Ada beberapa hukum yang dikhususkan bagi kaum pria saja, yaitu apabila ada qarinah (indikasi) yang menerangkan bahwa hukum tersebut tidak mencakup wanita. Demikian juga sebaliknya, ada beberapa hukum yang dikhususkan bagi kaum wanita, yaitu dengan adanya beberapa qarinah yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidak diperuntukkan bagi kaum pria. Sebagai contoh; laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, sedangkan kaum wanita tidak; laki-laki memberikan mahar dan nafkah, serta ditangannya terdapat akad talak; akan tetapi ‘iddah mati dan ‘iddah talak tidak berlaku bagi laki-laki, ia hanya berlaku bagi wanita saja; wanita memiliki aurat yang berbeda dengan aurat laki-laki; kesaksian wanita berbeda dengan kesaksian laki-laki; wanita bisa terputus shalat dan shaumnya (karena haid), sedangkan laki-laki tidak. Bagian laki-laki dalam hal warisan, berbeda dengan bagian wanita; dan seterusnya.


Kembali ke pertanyaan di atas, yaitu peran wanita muslimah dalam mengemban dakwah Islam; sebenarnya aktifitas tersebut bukanlah perbuatan yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, tidak cukup kita mencari dan membahasnya dari sudut hukum syara’ saja yang berkaitan dengan dakwah wanita. Namun harus dibahas dari sudut hukum yang lain, karena merupakan kumpulan dari berbagai perbuatan yang berkaitan dengan kedudukan wanita dalam keluarga atau dalam masyarakat, serta ada batas-batas hubungan antara pria dengan wanita, dan sebagainya. Dari sinilah, maka dakwah untuk kalangan wanita mempunyai sejumlah hukum syara’. Berikut ini hanya akan disebutkan sebagian saja dari hukum-hukum tersebut:


——————-

2) Contoh-contoh dari sekian banyak seruan yang ada pada hadits-hadits Rasul saw.


(1) Keimanan dan keterikatan kepada halal dan haram ada lah wajib bagi wanita, sebagaimana diwajibkan juga bagi laki-laki.

(2) Menuntut ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan berbagai urusan /perbuatan wanita ada lah wajib. Begitu pula dengan laki-laki terhadap perbuatan yang dikhususkan baginya.

(3) Aktifitas amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib bagi wanita, sama halnya bagi laki-laki, tetapi masing-masing melakukannya sesuai dengan kemampuannya.

(4) Mengoreksi tingkah laku penguasa merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar yang sifatnya wajib atas wanita dan laki-laki.

(5) Mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kaum muslimin serta memerangi pemikiran-pemikiran kufur dan sesat, merupakan kewajiban atas kaum laki-laki dan wanita.

(6) Kegiatan dakwah untuk menegakkan Islam dan mengembalikan Khilafah Islam untuk memberlakukan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah, merupakan bagian dari tugas/tanggung jawab bagi laki-laki dan wanita.

(7) Membentuk suatu gerakan Islam yang berjuang untuk mengembalikan Khilafah Islam, melaksanakan amar ma’ ruf nahi munkar, dan mengoreksi/menasihati penguasa, atau bergabung dalam gerakan seperti ini, merupakan fardlu kifayah bagi seluruh kaum Muslimin, baik laki-laki maupun wanita.


Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat ditemukan dalam nash-nash Syara’ yang mencakup kedua jenis kelamin ini. Dengan tetap berpegang kepada semua ketentuan umum ini, yang kedudukan laki-laki dan wanita di dalamnya adalah sama, maka kita mendapatkan keadaan tertentu berbagai hukum yang khusus bagi laki-laki; namun wanita dikecualikan dari hukum-hukum khusus ini, tetapi ia tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang tercantum pada butir 1-7 di atas. Keadaan yang dimaksud di sini adalah antara lain:


(1) Wanita tidak boleh keluar rumah, tanpa izin dari walinya sendiri. Misalnya, ayah, saudara laki-laki, suami, paman, dan sebagainya. Ketentuan ini membatasi kegiatan dan kemampuannya untuk bergerak di bidang dakwah.

(2) Apabila tidak disertai suami atau salah seorang muhrim dari keluarganya, maka wanita tidak boleh mendatangi tempat-tempat khusus [rumah, apartemen, dan sebagainya] yang di dalamnya terdapat laki-laki asing yang bukan muhrimnya. Ketentuan ini juga membatasi kegiatan dan kemampuannya untuk bergerak di bidang dakwah.

(3) Apabila seorang wanita telah bergabung ke dalam suatu gerakan Islam dan pimpinan gerakan tersebut menyuruhnya melaksanakan suatu perintah, sementara walinya menyuruhnya dengan perintah yang lain, maka ia wajib menaati perintah walinya selama perintah itu bukan berupa maksiat yang nyata atau bukan maksiat menurut pandangan pemimpin gerakan Islam tersebut.


Secara pasti, kita mengetahui bahwa taat kepada pemimpin adalah wajib (sebatas wewenang kepemimpinannya). Pemimpin yang dimaksud di sini antara lain khalifah (kepala negara), pejabat pemerintah, pimpinan partai/organisasi Islam, dan sebagainya. Kita juga tahu bahwa taat kepada ayah dan suami adalah wajib. Semua itu berlaku dalam perkara bukan maksiat kepada Allah SWT. Apabila perintah ayah atau suami bertentangan dengan perintah amir/pemimpin, maka dalam hal seperti ini, mana yang harus ia patuhi?


Yang wajib dipatuhi tidak lain adalah taat kepada ayah atau suami. Sebab, nash-nash Syara’ yang ada memang lebih menekankan /menegaskan agar wanita taat kepada ayah atau suami daripada mentaati amir /pemimpin suatu gerakan Islam, walaupun si wanita termasuk anggota gerakan Islam tersebut. Hadits-hadits Rasulullah saw tentang hal ini sangatlah jelas, seperti antara lain sabda beliau3):


“Ayah itu menduduki pertengahan pintu-pintu surga. Karena itu, peliharalah pintu itu kalau kalian mau, atau tinggalkanlah [dengan segala akibatnya]“.


——————-

3) Lihat Shahih Ibnu Hibban, hadits no. 426.


Imam Al Baidlawi menjelaskan arti dan maksud dari hadits tersebut bahwa sebaik-baik titipan pelintas masuk surga dan mencapai derajat yang tinggi ialah dengan jalan mematuhi perintah seorang ayah dan berbakti kepadanya4). Ketaatan kepada ayah, ini juga ditegaskan di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari, yaitu sabda Rasulallah saw5):


“Taat kepada Allah adalah sama halnya dengan taat kepada seorang ayah. Berbuat maksiat kepada Allah adalah sama halnya dengan berbuat maksiat kepada seorang ayah”.


Adapun taatnya seorang isteri kepada suami, banyak hadits Rasulallah saw yang menjelaskan hal tersebut. Misalnya, kita perhatikan antara lain sabda beliau6):


“Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah memberi izin kepada seorang (laki-laki) untuk masuk ke dalam rumah suaminya, sedangkan suaminya itu tidak suka [kepada orang tersebut]. Juga, tidak boleh bagi seorang wanita keluar rumah kalau suaminya tidak suka”.


Di antara aktifitas yang terpenting di dalam mengemban dakwah Islam adalah keterikatan para pengemban dakwah dengan hukum - hukumNya. Sesungguhnya keterikatan seperti itu, baik dari pihak laki-laki maupun wanita, adalah termasuk salah satu kegiatan dakwah untuk merealisasikan Islam. Dengan demikian, apabila seorang wanita berpakaian secara syar’i, perilakunya islami baik di dalam lingkungan keluarga maupun di dalam lingkungan masyarakat, bahkan membenci setiap adat /kebiasaan orang Barat dan lainnya yang begitu nampak sekarang dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam, serta ia merasa bangga dengan ide-ide, hukum-hukum dan adat /kebiasaan yang bernafaskan Islam pada saat ia menampilkan semua sifat /ciri Islam ini di dalam dirinya, maka sesungguhnya ia sudah menjadi seorang da’iyah (pengemban dakwah Islam) walaupun ia sendiri tidak merencanakannya. Oleh karena itu, perilaku yang baik adalah langkah awal dalam berdakwah kepada Islam, khususnya bagi wanita muslimah. (Sumber Buku : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Oleh Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.)



——————-

4) Lihat Faidlul qadir, Abdurrauf Al Manawi, VI/371.

5) Lihat At Targhib Wat Tarhib, Zakiyuddin Al Munzhiri, III /322.

6) Lihat Shahih Ibnu Hibban hadits no. 4158; Musnad Ad Daylami hadits no. 7772; dan Kasyful Ghummah, Imam Asy Syaârani, II/107.


Tidak ada komentar: