Selasa, 04 Februari 2014

Asmirandah dan Hak Murtad Warga Negara




Minggu-minggu ini jagat infotainment diguncang kabar pindah agamanya (murtad) seorang selebritis muslimah. Alasanya klasik, karena pernikahan dengan pria beda agama ia pun meninggalkan Islam. Padahal sang artis beberapa kali diberitakan sering berkerudung dan tampil dalam film dan sinetron religi. Pantas bila kabar ini cukup menggegerkan.
religious-freedom-L-CYCfBABanyak yang kecewa dan marah, tapi apa mau dikata dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia murtad adalah hak setiap warga negara. Bukankah dalam pasal 29 UUD 1945 disebutkan:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Di sana sama sekali tidak dicantumkan larangan berpindah agama. Bahkan sekalipun secara formal negeri ini hanya mengakui secara resmi 5 agama, namun tidak ada sanksi apapun bagi siapa saja memilih selain 5 agama tersebut. Termasuk tidak ada larangan bagi seorang muslim menjadi penganut Ahmadiyah sekalipun.
Beginilah cara demokrasi memperlakukan hak beragama para penganutnya. Agama menjadi sesuatu yang amat personal. Sang artis pun tahu hal itu. Maka ia katakan kepada media, “Iman adalah urusan saya dengan Tuhan.”  Beragama tidak perlu bahkan tidak boleh diatur oleh negara. Beragama adalah hubungan yang amat privasi antara seseorang dengan ‘tuhan’nya. Tak ada seorangpun diperbolehkan secara hukum mengusik ketaatan atau ketidaktaatan seseorang pada agamanya. Kemurtadan seorang warga negara pun tak boleh diperkarakan. Itu adalah hak yang dijamin secara de jure.
Dalam demokrasi liberal kehidupan beragama malah lebih ‘brutal’ lagi. Selain boleh berpindah-pindah agama, warga juga diperbolehkan tidak beragama. Menjadi seorang agnostik atau ateis sekalipun sah secara hukum. Atau mau membuat agama baru sekaligus menjadi tuhan dan nabinya juga tak ada masalah. Di AS diperkirakan ada sekitar 3 ribu sampai 5 ribu sekte (cult) berkembang. Setiap tahunnya diperkirakan mereka merekrut 180 ribu anggota. Sedangkan di Jepang pemerintahnya memperkirakan ada sekitar 200 ribu sekte dianut warganya diluar agama formal.
Semenjak kelahirannya demokrasi memang telah dirancang untuk tidak banyak mencampuri urusan agama warganya. Apapun, apakah Kristen ataupun Islam dan yang lainnya. Trauma sejarah yang panjang di Eropa akibat penindasan yang dilakukan tokoh-tokoh agama yang berkonspirasi dengan para raja membuat para filsuf dan politisi Eropa berpikir untuk mencari sistem alternatif dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sistem ini harus bebas dari campur tangan agama dan para raja. Untuk menghilangkan peran agama maka digagaslah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, sedangkan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan para raja dibuatlah sistem demokrasi.
Keduanya saling berkelindan. Sekulerisme adalah asasnya sedangkan demokrasi adalah bangunannya. Tidak mungkin menegakkan demokrasi tanpa sekulerisme. Karena demokrasi berarti menyerahkan hukum kepada manusia (people), bukan kepada Tuhan. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Andaipun ada agama, maka negara hanya sebagai regulator. Sekedar menata tapi tidak akan pernah memaksa atau melarang.
Sebab itu jangan pernah berharap demokrasi akan menjaga kemuliaan agama Islam. Ia justru menistakannya. Aliran sesat seperti Ahmadiyah tetap berkembang, kemurtadan pun diizinkan. Demokrasi memang ‘surga’ bagi orang-orang fasik dan zindiq. Pantas bila dikatakan demokrasi bertentangan secara nyata, diametral dan langsung bertentangan dengan ajaran Islam. Memperjuangkan demokrasi berarti harus rela melihat Islam dinistakan.
Satu-satunya jalan untuk menjaga kemuliaan Islam adalah dengan memberlakukan syariat Islam. Tak ada lagi yang bisa melindungi akidah umat kecuali dengan menjalankan hukum-hukum Allah. Selain Islam, tak akan bisa. [http://www.iwanjanuar.com//www.globalmuslim.web.id]

Tidak ada komentar: